Wednesday, August 9, 2017

Berangkat Haji hanya dengan 100.000?? Bisa... (Bagian Kedua)



Bagian pertama, bisa cek disini

Melanjutkan perjuangan, dengan usaha sampingan dan Arisan
Setelah itu, saya kembali pada rutinitas bekerja. Dari pagi hingga sore, saya kerja mengajar di sebuah sekolah islam di kawasan Karawaci. Sedangkan setelah magrib, saya mengajar anak-anak di mushola sekitar tempat saya tinggal di kawasan Cibodas Tangerang.

Setelah membuka tabungan haji, saya terus berfikir bagaimana caranya agar tabungan haji saya terus bertambah. Jika hanya mengandalkan gaji mengajar saya, tentu tak akan pernah cukup. Satu-satunya jalan untuk mendapatkan uang tambahan adalah dengan berbisnis. Akhirnya saya pun berkonsultasi pada orangtua. Dan orangtua, terutama ibu saya, mamah mendukung dan mengusulkan untuk berjualan baju.

Akhirnya saya pun diskusi panjang lebar dengan mamah tentang bisnis baju apa yang akan saya lakukan. Mamah, yang tinggal di Tasik mengusulkan agar saya berjualan baju khas Tasik yaitu gamis atau stelan dengan bordir Tasik yang khas. Maka mulailah saya menawarkan dagangan saya kepada teman-teman sekantor saya, ada yang bayar tunai, ada juga yang kredit. Mamah yang bertugas sebagai pemasok barang dari Tasik, adalah kunci sukses keberhasilan bisnis saya saat itu. Mamah yang memilih produk, saya yang menawarkan. Hari Senin hingga Jumat saya bekerja sambil menawarkan produk jualan saya, dan saat weekend di hari Sabtu dan Minggu, saya keliling berjualan kepada saudara-saudara saya.

Saat pertama berjualan keliling kepada saudara, saya masih meminta bantuan kakak saya untuk mengantarkan saya berjualan dengan menggunakan motor.. lama-lama saya kasihan pada kakak saya, akhirnya saya pun belajar naik motor. Sempat jatuh dan menabrak beberapa kali, karena kepepet, akhirnya saya bisa juga naik motor. Sepertinya the power of kepepet masih menjadi mantra andalan yang sangat jitu untuk mewujudkan apa yang diinginkan.


Setelah saya bisa naik motor, semangat saya semakin menggelora. Setiap akhir minggu, saya berkeliling berjualan baju kepada saudara-saudara saya, sambil menagih cicilan pelanggan yang membeli baju secara kredit. Memang orang Tasik itu terkenal sebagai tukang kredit. Akhirnya saya mengalami juga profesi sebagai tukang kredit. Tujuan saya memang satu, saya bisa terus menambah tabungan haji.

Alhamdulillah bisnis saya berjalan lancar, memang melelahkan menjalani hari yang padat tiada henti untuk menambah pundi pundi tabungan haji saya. Selama halal, walau melelahkan, tetap saya jalani dengan sepenuh hati. Setiap bulan, saya terus menambah setoran tabungan saya, tentu tidak dengan 100.000 saja. Setiap mendapatkan kelebihan rejeki, saya tambah setoran tabungan haji saya.

Saat saya meniatkan diri saya untuk berhaji, entah kenapa rejeki saya terus bertambah. Ide–ide saya terus bermunculan. Bisnis pakaian yang saya jalani, kemudian berkembang menjadi sebuah toko pakaian di Pasar Malabar Tangerang dengan nama “Ungu Farobi”. Saya mengundang teman saya di ITB untuk menjadi investor saya, dan dia mau. Herannya, percaya saja dengan temannya yang pemula ini. Saya ingat, saat itu dia investasi sebesar 5 juta. Saya tak sia-siakan kesempatan itu, uang itu kemudian digunakan untuk sewa toko untuk memperluas jangkauan bisnis saya.

Ide gila lain pun muncul. Saat itu, acara mabit di masjid-masjid Tangerang, sedang mulai berkembang. Saya langsung hubungi panitianya, untuk mendaftar sebagai peserta bazaarnya. Saya ingat, saya berjualan seperti pedagang kaki lama, saat ada acara mabit di Masjid Raya Al-Adhom Tangerang. Saya merasakan, betapa tak mudah perjuangan saya untuk berangkat haji. Saya juga turut merasakan perjuangan para pedagang kaki lima dalam menjajakan dagangannya. Sungguh rasanya saat itu ingin menangis dan berhenti berjuang. Rasa malu, lelah hingga nyaris putus asa, sempat saya alami. Berjuta pengalaman yang menguras emosi dan air mata, turut membentuk karakter saya hingga menjadi kuat dan tegar dalam menghadapi tantangan apapun.

Pengalaman berjualan ini saya lakukan selama dua tahun dari tahun 2002 hingga tahun 2004. Lucunya, saat berperan sebagai pedagang di acara mabit itu, datanglah tawaran taaruf dari tetangga yang mengontrak kamar di dekat tempat saya tinggal. Ia menawarkan saya berkenalan dengan sang ketua panitia acara mabit. Kebetulan, tetangga saya ini kenal dekat dengan sang ketua panitia. Ia memang sempat saya beri kartu nama, ternyata kartu nama itulah yang diberikan pada sang ketua panitia. 

Perkenalan berlanjut, kami sempat ketemu tapi sepertinya dia bukan jodoh saya, jadi perkenalan itu pun berakhir. Rasanya ini seperti hiburan di tengah kelelahan saya akibat bekerja dan bisnis berjualan baju.
Selain menabung di bank dengan membuka tabungan haji, saya juga ikut arisan keluarga dengan nominal 250.000 per bulan. Sisa gaji saya saat itu, habis untuk makan dan akomodasi pergi dan pulang bekerja. Tapi arisan itu, memang seperti menabung wajib bagi saya. Jika tidak begitu, mungkin uang saya akan habis tak karuan. Dan ternyata arisan inilah yang akhirnya melancarkan jalan saya untuk berangkat haji.

Rabu, 090817.08.30
#odopfor99days#semester2#day55


No comments:

Post a Comment

Postingan Favorit